Pak Tua Bijak...


TIGA hari belakangan ini, setiap sore hujan mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sangat deras sembari disoraki petir dan digoyang-goyang angin ribut. Sunggguh tersiksa setiap pulang kerja (kayak orang kantoran saja). Baju kuyup seperti perawan India jatuh cinta sambil mengitari pohon. Tubuh tambah menggigil disemprot kipas angin kereta bekas dari Jepang.

Aku sejatinya paling tak tega bila ada ibu-ibu termasuk juga perempuan cantik di kereta nggak dikasih tempat duduk. Kali ini aku sangat tega dengan mengeksploitasi kedinginanku. Aku bergeming. Sekali-kali aku tidak berbuat baik, boleh kan? Sumpah karena kondisi aku sangat kedingininan. Tuhan pasti tahu, batinku.

Perjalanan dari Stasiun Palmerah sampai Stasiun Depok Lama selayaknya perjalanan panjang dari Stasiun Gambir berakhir di Stasiun Tugu. Lama. Gelisah. Galau juga.

Turun di Stasiun Depok Lama seperti orang kutub menemukan sinar matahari. Seneng banget. Aku pun tak langsung pulang ke rumah. Sekira 15 menit kucincang waktu hanya untuk menghirup udara segar setelah selama tiga jam perjalanan penciuman dijejali bau kaos kaki busuk dan uap ketek melebihi asam cuka kedaluwarsa.  Sangat tersiksa!

Seorang tua berwajah pucat duduk di sampingku. Napasnya terengah-engeh. Kasihan banget. "Kedinginan juga, Dek."

Saya menoleh sambil tersenyum ikhlas. "Iya, Pak."

Seorang tua itu mengaku sebagai kuli di Manggga Dua. Seperti aku, bajunya juga basah kuyup. Sementara tas kumalnya berkantong kresek hitam. Ingin sekali aku mentraktirnya secangkir kopi hangat tapi di Stasiun Depok Lama nggak ada kedai kopi.

"Bapak tinggal di Depok?"

"Saya di Leuwiliang, Dek."

"Waduh, masih jauh, Pak."

"Sampai jam berapa di rumah, Pak."

"Saya biasa jam 12 malam."

"Waduh."

"Sudah biasa, Dek. Nanti jam lima sudah berangkat lagi kerja."

"Waduh."

(Kamu kok cuma waduh, waduh saja. Aku menegur diriku sendiri)

"Kehujanan seperti ini?"

"Saya sudah biasa."

"Membuat tersiksa kalau hujan terus--terusan ya. Padahal ini sudah bulan Maret."

"Kita tidak boleh egois."

"Maksudnya?"

"Hujan kali ini boleh jadi tidak diminta oleh manusia  tetapi tumbuhan atau mahluk hidup di dalam tanah sangat membutuhkannya."

Dug! Dadaku seperti ditonjok. Kalimat bijak pak tua ringkih tersebut membuat aku kaget. Selama ini tak pernah memikirkan apa yang dikatakan pak tua itu.

Otak kananku lebih banyak diganggu pertarungan elite Golkar yang rakus bin haus kekuasaan karena nggak enak jadi pengangguran politik juga pikiran ini lebih tersita oleh perilaku pemerintahan Jokowi-JK yang seenak udel bagi-bagi jabatan komisaris utama BUMN layaknya membagi-bagi kue ulang tahun tanpa kompetensi sementara mereka ini ngalebok dan jajablok duit rakyat. Egois!

Komentar