Toilet Yahudi dan Toilet Kafir

SUATU hari rombongan wartawan DPD RI sekira 80 orang menuju Bandar Udara Antarbangsa Soekarno-Hatta. Tujuannya adalah Bukit Tinggi, suatu tempat sarat sejarah. Wartawan menggelar acara dengan Ketua DPD RI Irman Gusman di tanah kelahiran Bung Hatta sekaitan dengan seminar penguatan kelembagaan.

Bukit Tinggi yang sejuk pernah menjadi ibukota negara Republik Indonesia dan tempat kelahiran sejumlah tokoh nasional juga terkenal dengan gua Jepang di Ngarai Sianok yang penuh misteri dan Jam Gadang-nya yang penuh magis dan cerita ‘dunia lain’.

Namanya juga rombongan wartawan, selalu kocak dan penuh canda sejak awal. Malah mungkin sudah kocak sejak di rumahnya masing-masing. Dengan keluarganya dan mungkin dengan istri-istrinya (bisa istri pertama dan seterusnya….)

Tapi yang akan aku ceritakan di sini kelucuan dan kelakuan wartawan di Bandara Sukarno-Hatta.

Cerita bermula dari temanku yang sangat taat. Ia selalu gusar kalau bepergian. Masalahnya sepele. Soal toilet. Sementara dia ini bawaannya beser melulu. Bukan dia tidak antisipasi tapi kali ini lupa.

Lima belas menit sebelum terbang aku dan dia kencing bersama di toilet ruang keberangkatan yang lumayan bersih untuk ukuran warga lokal. Permasalahannya toilet itu terlalu modern. Malah dia sebaliknya sangat nyaman dengan toilet sekelas rumah makan atau stasiun kereta api yang ada pancurannya. Dengan mudah dapat mengambil air untuk membasuh kemaluannya.

“Dasar toilet Yahudi!” teriak temanku mungkin mengagetkan orang lain di belakang dan sampingnya yang mengantre. “Yahudi selalu nyusahin.”

“Yahudi ada dimana-mana. Gila, sampai urusan kencing pun mereka mengintip kita,” katanya bersemangat.
Aku sudah paham dengan teriakan temanku itu. Dia sudah pasti kesulitan untuk membasuh kemaluannya. Bila ‘burung’ tidak dicuci itu adalah dosa karena air kencing adalah najis dan nanti bisa repot kalau mau salat.

Teriakan temanku ini sama dengan ocehan seorang anggota DPR dari sebuah partai Islam ketika rapat di sebuah hotel bintang lima. Seperti diceritakan dalam buku “Parlemen Undercover” sang kiai ndeso ini juga berteriak saat berurusan dengan toilet yang terlalu modern ini.

“Dasar toilet kafir!” teriak sang kiai.

Kiai ini kesulitan ketika menekan apapun tombol dan warna yang ada di depan. Tetap saja air tak keluar. Tapi ketika ia menjauh untuk menjemput air di wastafel yang jaraknya hampir dua meter, air menggelontor dengan derasnya.

“Dasar toilet kafir!” ulangnya.

Rupanya sistem toilet yang menggunakan sensor ini tidak familiar dan tidak bersahabat dengan umat muslim.

Temanku biasanya membawa sebotol air untuk mengantisipasi kesulitan menghadapi toilet jahanam semacam ini. Tapi kali ini dia lupa karena sangat ngebet, botol air tertinggal di tasnya.[]

Komentar